Terkadang kita berada di tempat dan waktu yang salah tanpa pernah diduga. Ada saatnya, kita mengalami peristiwa yang diluar perkiraan kita.... Singkat cerita, suatu hari saya harus menjadi saksi sebuah kekerasan. Asli rasanya takut banget, tau sendiri kan, gosipnya bisa sangat ribet urusannya. Maka ketika di suatu pagi yang tenang, ketika datang surat panggilan sebagai SAKSI, rasanya pingin nangis hehe..
Dari pengalaman, saya menyimpulkan:
Apa kata mereka?
Seperti orang Indonesia pada umumnya, berurusan dengan pihak penegak hukum terasa bagai suatu terror yang menghantui. Walaupun hanya sebagi saksi, saya sempat kepikiran, uring-uringan n gak doyan makan tiap ingat masalah ini. Maka untuk menghilangkan kecemasan, saya menghubungi beberapa teman untuk dimintai pendapatnya;
Berikut ini komentar beberapa teman:
- seorang anggota kepolisian: “Nggak papa... bersaksi aja, pelaku kekerasan memang perlu diberi pelajaran...”
- seorang Lawyer: “gak usah terlalu kuatir.... kalo korban hanya luka ringan, paling terlapor hanya akan dikenai 4 bulan penjara atau denda....” Saksi mah bersaksi aja sesuai yang diketahuinya;
- Seorang sipil yang kebetulan pernah jadi saksi di pengadilan: “aku dulu juga sampai bergetar saking gugupnya.... tapi asal kita tidak terlibat, gak masalah kok... kecuali lu ikut membantu menganiaya”
- Seorang Sarjana Hukum tapi belum pernah berurusan dengan tindak pidana: “Nggak usah lah lapor, iya kalo yang dilaporkan itu sadar. Kalo enggak n kemudian malah membalas dendam gimana???. Nanti kamu kena juga lho”
- Seorang awam: “Jangan mau jadi saksi!!!... nanti kamu habis banyak duit lho...”
Komentar2 diatas setidaknya bisa membuatku berfikir lebih jernih, dan membandingkan beberapa sudut pandang.
Ber-SAKSI
Sebagai warga negara yang taat peraturan, datanglah saya pada hari yang ditentukan.
Pertanyaan yang diajukan merupakan kronologis peristiwa yang terjadi mulai mengapa kita berada di tempat itu, apa yang kita lihat dan kita dengar. Setelah mendengar keterangan dari kita, kemudian akan dituangkan oleh pihak penyidik dalam bentuk dokumen berisi draft wawancara. Setelah selesai, penyidik akan memberi kesempatan kepada kita untuk membaca ulang dan menganulir ataupun mengedit jika ada penulisan yang kurang sesuai. Setelah kita menyetujui hasil penyidikan tersebut, kita diminta untuk membubuhkan tandatangan. N... Selesai dech... Alhamdulillah...
Saya mencoba meminta kepada penyidik salinan pernyataan saya, untuk arsip sekaligus bukti pernyataan saya sendiri, tapi sayangnya tidak diperbolehkan. Menurut penyidik itu adalah rekam rahasia penyidik. Yang ini sebenarnya saya tidak begitu terima, tapi ya... emang saya punya pilihan??
Saya mencoba meminta kepada penyidik salinan pernyataan saya, untuk arsip sekaligus bukti pernyataan saya sendiri, tapi sayangnya tidak diperbolehkan. Menurut penyidik itu adalah rekam rahasia penyidik. Yang ini sebenarnya saya tidak begitu terima, tapi ya... emang saya punya pilihan??
Dari pengalaman, saya menyimpulkan:
- Ada baiknya kita menulis kronologis yang terjadi untuk kemudian dihafalkan (bukan berarti kita mengarang, cuman agar kita lebih lancar dan memiliki alur kronologis yang lebih jelas), sehingga saat wawancara kita sudah tahu persis apa jawaban kita. (ini kemarin tidak saya lakukan dan baru terpikir setelah wawancara);
- Kita harus benar-benar mempertimbangkan semua pernyataan kita karena segala perkataan kita memiliki dampak hukum;
- Bersikap seobyektif mungkin, walaupun jika kebetulan kita lebih simpatik kepada satu pihak, tapi kita tak pernah benar2 tahu siapa yang benar. Dan dalam kasus persengketaan manapun masing2 pihak pasti merasa benar.
Comments
Post a Comment