Skip to main content

Demokrasi oh demokrasi

Akhir-akhir ini semua media dan orang Indonesia yang saya temui ramai membicarakan keputusan Legislatif tentang perubahan pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung menjadi tidak langsung. Mayoritas, well, bisa dibilang hampir semua tidak setuju dengan keputusan ini. Mayoritas, lagi-lagi, hampir semua berargumen:
1. ini pembunuhan demokrasi namanya
2. demokrasi di Indonesia selangkah lebih mundur
3. ini menghidupkan orde baru lagi namanya
4. ini pasti gara-gara barisan yang sakit hati yang kalah pilpres

Pendapat massive dan lebih ramai lagi beredar di dunia maya (baca: facebook dan twitter). Yang paling populer adalah penggalangan komunitas untuk membully presiden sendiri gara-gara partai sang presiden 'walkout' saat pengambilan keputusan yang mengakibatkan partai koalisi pendukung pemilihan kepala daerah tidak langsung MENANG.

Saya sendiri awalnya tidak terlalu peduli dengan hal ini, tapi lama-lama saya jadi terpengaruh dan ikut kepikiran juga hehe... Saya bukannya nggak punya sikap, dengan kondisi pemerintahan Indonesia saat ini, saya juga termasuk yang lebih setuju jika pemilihan kepala daerah diadakan secara langsung. Tetapi alasan saya tidak sama dengan 4 alasan umum diatas. Saya mencoba menuliskan kenapa saya merasa ke-empat alasan diatas, somehow agak berlebihan.

-pembunuhan dan pemunduran demokrasi?
well, saya punya pendapat lain tentang ini. Demokrasi memiliki definisi yang sangat luas dan kompleks untuk dibunuh dan dimundurkan begitu saja. Apa sih sebenarnya demokrasi itu sendiri? adakah yang tahu? yang saya tahu hanyalah bahwa demokrasi berasal dari bahasa Yunani 'demos' dan 'kratein' dan bermakna umum pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Pada prakteknya di taraf pemerintahan berbagai negara, pelaksanaan demokrasi ini sangat beragam. Setahu saya pada prakteknya, lebih banyak yang menganut sistem pemilihan kepala daerah lewat representative-nya (bukan pemilihan langsung), termasuk Belanda tempat saya belajar sekarang, atau bahkan negara adidaya -USA-. Tentu saja tidak bisa begitu saja disamakan dengan Indonesia, karena kedua negara yang baru saya sebutkan tadi satunya Monarchy dan satunya Federal. Well, intinya menurut pendapat saya, di negara yang dianggap maju dan demokratis pun, pemilihan kepala daerah tidak secara langsung tidak lantas mematikan 'demokrasi' itu sendiri.

-menghidupkan orde baru kembali?
kita tahu bahwa jatuhnya orde baru tidak lepas dari perjuangan Mei 98 yang memakan banyak korban jiwa yang sayangnya pengusutan para pelaku kekerasan tidak dilaksanakan secara tuntas hingga saat ini. Peristiwa tersebut akan tercatat dalam sejarah perjuangan demokrasi Indonesia. Walaupun begitu, paranoia hidupnya kembali orde baru karena perubahan sistem pemilihan kepala daerah ini terlalu berlebihan -ini lagi-lagi sebatas pendapat saya loh ya- Ayolah, kita saat ini hidup di era keterbukaan, bahkan kadang saya fikir terlalu terbuka sampai-sampai banyak orang yang tidak lagi menghargai orang lain hanya karena dia merasa pendapatnya paling benar. Informasi saat ini bukan hal yang langka lagi untuk diperoleh, belum lagi masyarakat saat ini juga dengan bebas dapat menyebarkan informasi ke publik.

-gara-gara barisan sakit hati?
Yang ini mungkin ada benarnya, tapi dalam dunia politik, ini termasuk strategi untuk tetap mempertahankan posisi, dan mungkin, mungkin lho ya, di dunia politik, ini sah-sah saja dan saya kira tidak hanya terjadi di Indonesia. Well, tidak ada benar salah di dunia politik, pun para politisi pendukung pemilihan kepala daerah secara langsung, pasti juga punya kepentingan tertentu.

-kenapa saya lebih setuju pemilihan kepala daerah secara langsung untuk periode kepresidenan saat ini?
Alasan saya lebih simpel sih. Pada intinya karena kita telah punya Presiden terpilih secara langsung yang sah -dimana sebagai warga negara-, saya akan berusaha dan wajib mendukung beliau *tsah. Sejauh pengamatan saya (bisa benar, bisa salah ;p), rupanya presiden terpilih ini tidak mendapat banyak dukungan dari parpol lain yang notabene menduduki kursi legislatif dan pada akhirnya akan bertindak sebagai wakil rakyat dalam pemilihan kepala daerah. Nah loh... bingung nggak? Intinya, Presiden kedepan akan lebih berat tugasnya karena para pemangku jabatan di daerah yang harusnya sinkron dengan presiden, kemungkinan besar akan berkontradiktif (terutama jika kepala daerah tersebut notabene loyalis partai yang berseberangan dengan partai si presiden). Intinya lagi, ujung-ujungnya ini akan menghambat kinerja sebuah negara secara umum. Itulah kenapa saya lebih setuju pemilihan kepala daerah secara langsung, karna lebih sinkron dengan sistem pilpres yang juga langsung. Analoginya, berdasarkan pengalaman, akan sulit sekali mengorganisir suatu kegiatan jika rekan-rekan satu tim kita tidak kompak, ya kan??.

-tentang mem-bully presiden...
Mungkin saya orang yang masih berfikir konvensional, tapi menurut pendapat saya, rasanya tidak etis untuk mem-bully 'ayah' sendiri. Walau bagaimanapun presiden adalah pilihan kita sendiri dan merupakan representasi negara. Presiden juga punya kebebasan berpendapat, termasuk partainya, dan lagi-lagi kalau ngomong tentang demokrasi: dalam 'demokrasi' kita harus menghormati pendapat orang lain bukan? Saya juga percaya, Presiden bagaimanapun juga memiliki pengetahuan yang makro dan integral tentang negara ini, oleh karenanya harus selalu mencari jalan tengah untuk minimal memuaskan semua kepentingan dengan tetap menjaga stabilitas negara. Jika kadang keputusan sang 'ayah' kurang sesuai dengan apa yang kita anggap paling benar bagi kita, tentunya kita berhak untuk memprotes atau mengkritik, -dengan cara yang elegan tentunya ;).

-tentang apakah Pilkada langsung lebih baik dibanding tidak langsung
menurut saya hal ini benar-benar tergantung pada pelaksanaan dan pengawasan pemilihan itu sendiri.  Seperti kita tahu, pemilihan langsung yang berlangsung sejak tahun 2005 ini melahirkan banyak kepala daerah yang kompeten yang pada akhirnya mampu membawa perubahan baik bagi birokrasi yang cenderung stagnant dan korup. Akan tetapi, bukan berarti sistem ini tidak memiliki kekurangan sama sekali. Bukan rahasia lagi kalau pasca Pilkada, banyak sekali kandidat yang kalah memilih mengakhiri hidupnya sendiri karena malu ataupun harus berakhir di rumah sakit jiwa. Belum lagi konflik-konflik pilkada yang tak bisa hanya dihitung dengan jari, yang tentunya menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Ditambah lagi, tidak ada jaminan para calon ini tidak menggunakan 'money politics' saat mencalonkan diri. Tentunya pelaksanaan pemilihan langsung di Indonesia masih terlalu muda untuk di-evaluasi dan saya juga sepakat jika sebaiknya disempurnakan dan bukan dihentikan.
Akan tetapi, ini bukan berarti menjadikan pemilihan tidak langsung seolah-olah tidak layak dilaksanakan. Toh dalam pemilihan tidak langsung, sebenarnya masyarakat tetap bisa memilih representatifnya yang kemudian akan mewakilinya memilih kepala daerah. Memang terkesan kaku dan rawan manipulasi, mungkin juga akan menghambat lahirnya calon-calon independen yang potensial untuk memajukan bangsa. Akan tetapi, menurut pendapat saya, mungkin juga sebenarnya banyak tokoh-tokoh kompeten yang saat itu memimpin (sebelum tahun 2005), hanya saja saat itu publikasi media tidak se-massive saat ini, sehingga banyak aktivitas oke meraka yang tidak terpublikasi.

-masih tentang demokrasi...
jika anda masih bisa menyatakan pendapat dengan bebas bahkan mem-bully tanpa terjadi apa-apa... tenang saja kawan!! anda hidup di negara yang sangat demokratis ;))

Comments

Popular posts from this blog

The Story of My Grandpa

Ode to my Grandpa Malam sebelum Hari Raya Idul Adha 1442 H / atau tepatnya tanggal 19 Juli 2021 sekitar jam 19:00 WIB mbah Kakung tersayang (dari pihak ibu) atau orang biasa memanggil mbas Bas, pergi menghadap Allah SWT di usia 93 tahun di kediamannya di Blitar.  He is the only grandpa that I know of, karena kakek dari pihak Ayah sudah meninggal sebelum saya lahir. Saat kecil, saya termasuk sangat dekat dengan mbah kung karena memang kebetulan rumah orang tua saya berdekatan dengan rumah mbah dan saya adalah cucu perempuan pertama. In my childhood, saya bahkan menghabiskan waktu saya lebih banyak di rumah mbah dibanding di rumah sendiri. Saat balita, mbah kung lah yang kadang mengantar saya ke tukang urut anak, beliau akan menggendong saya dengan gendongan kain sambil mengayuh sepeda perangnya. Saya juga sering ikut kesawah dengan naik gledekan made in mbah kung.   Mbah kung tipe orang yang sangat aktif (almost hyperactive) yang tidak tahan jika harus diam saja. Beliau sosok pekerja ke

Potongan harga untuk Kacamata oleh Askes

Baru baru ini saya punya teman baru bernama ‘Visi’ , kacamata minus yang saya beli dengan fasilitas potongan harga dari Askes.   Meskipun beberapa teman yang setelah mendapat informasi tentang rentetan tatacaranya banyak yang berpendapat bahwa proses nya terlalu rumit, tapi tak ada salahnya saya tetap berbagi bagaimana mendapatkan kacamata dengan potongan harga dari Askes dan berapakah besarnya. Pertama, bagi yang belum pernah sama sekali menggunakan kartu Askes anda, berikut adalah cara mengaktifkannya (khususnya buat yang bekerja di luar kota asal): Langkah pertama adalah melapor di Askes setempat. Bagi anda yang punya KTP dan domisili di tempat yang sama tentunya tidak akan jadi masalah, tapi buat yang harus berpindah ke daerah lain, pastikan anda melapor pada kantor ASKES yang berada diwilayah puskesmas tujuan anda (dengan membawa kartu askes yang sudah anda miliki tentunya); Anda akan mendapatkan surat dari ASKES yang ditujukan untuk Puskesmas tujuan anda; Langkah s

On my way to work # Mei 2019 #Demo Massa #pasca Pilpres

21 Mei 2019 Tidak ada yang spesial hari itu, rutinitas dimulai dengan berangkat ke tempat kerja. Suasana pagi hari di tempat kerja kurang lebih sama, tidak ada sesuatu luar biasa untuk dikenang. Tentang didirikannya posko polisi di sekitar Thamrin juga telah menjadi pemandangan biasa, karena kurang lebih 10 hari terakhir ini sudah beberapa kali ada demo di depan Bawaslu, sehingga memang perlu pengamanan lebih. Tapi hari ini akan menjadi spesial karena dini hari tadi menjelang waktu sahur, KPU telah mengumumkan pemenang Pemilu 2019, sedikit lebih maju dari jadwal semula... Menjelang siang, terlihat massa sudah mulai memenuhi perempatan Thamrin. Kebetulan tempat kerja saya sangat dekat dengan lokasi massa berada. Beberapa rekan yang rumahnya jauh memilih untuk pulang lebih cepat dari biasanya, karena akses di sekitar tempat kerja memang sudah mulai ditutup. Saat pulang kantor, massa sudah memenuhi perempatan Thamrin. Saya ingat waktu itu suasana termasuk kondusif. Saya bisa melewati